“Yang dimaksud tim sukses yang di-SK-kan KPU. Tetapi mereka, ring 1-nya itu, yang bergerak di lapangan, tim intinya, tidak ada yang di-SK- kan. Yang di-SK-Kan itu entah ring berapa. Akhirnya ketika tertangkap misalnya, ring 1-2 yang betul betul eksekutor lapangan yang biasanya melakukan pelanggaran itu tidak bisa disentuh. Yang dipegang yang di-SK-kan, yang di-SK-kan itu bisa jadi simpatisan,” kata Fitrah Hamdani.
Mestinya, menurut Hamdan, bahasa ‘tim sukses’ diganti ‘semua orang’ atau ‘siapapun’. Terminologi tim sukses itu apamyang di-SK-kan KPU? Coba diganti dengan siapapun atau bagi setiap orang misalnya. Kena itu (pelaku pelanggaran). Itu salah satu contoh (problem regulasi Pemilu),” terang Hamdan.
Problem regulasi Pemilu juga menyangkut politik uang dalam bentuk serangan fajar sebagai praktek pelanggaran Pemilu. Hal itu ada di dalam pasal 53 ayat 1 sampai 3 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Juga didalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mengenai politik uang ada frasa terstruktur sistematis dan massif.
“Batasan dari terstruktur sistematis dan masif tidak jelas. Yang dikatakan terstruktur sistematis dalam Pemilu tidak dijelaskan, terminologi terstruktur sistematis itu ciri-cirinya apa? Akhirnya jadi multi tafsir dan di lapangan jadi permainan, ada jual beli,” kata Ketua Bidang Keilmuan DPD IMM Jawa Tengah 2008-200
Menurut Hamdan, regulasi yang bermasalah akan jadi lahan bagi penyelenggara, partai politik dan calon peserta Pemilu untuk main mata dan itu yang terjadi. Dan itu menguntungkan bagi caleg atau bagi siapapun yang mencalonkan diri termasuk presiden. Menguntungkan juga player politik, pemain politik.
“Walaupun lubang tikusnya banyak, namun ada kesan itu dipelihara. Kalau tidak di judicial review, maka UU Pemilu tetap dipakai,” kata Hamdan.
Problem lain dalam Pemilu menurut Hamdan adalah di perekrutan penyelenggara yang terjadi di seluruh Indonesia.
“Badan Ad hoc termasuk PPK di bawah KPU. Kalau Bawaslu mereka dipilih (dengan cara) main jatah. Tapi ini off the record,” kata Hamdan.
Menurut Fitrah Hamdani, selain regulasi, juga ada persoalan budaya politik yang tidak baik.
Artinya, regulasi yang baik dalam Pemilu belum tentu menyelesaikan persoalan karena ada faktor budaya politik yang menimbulkan persoalan. Budaya politik yang dimakud disini adalah politik uang yang terjadi dalam Pemilu.
Hal ini terjadi karena faktor kemiskinan bisa jadi juga karena faktor dibiasakan terjadi.
Masyarakat memilih berdasarkan kesadaran pribadi atau keluarga. Tapi kenapa bisa memilih berdasarkan uang? Itu terjadi karena kesalahan caleg yang memberikan uang.
“Budaya politik itu parah. Saya dosen, saya sampai berpikir begini, agak jengkel. Kita di kampus sudah berusaha menciptakan SDM yang berkesadaran tentang demokrasi tentang good government. Tapi ketika dia lulus, ikut partai politik, rusak dia. Berarti ada yang salah dengan budaya dalam partai politik,” kata Hamdan.
Menurut Hamdan, biasanya para aktifis yang masuk di partai politik. Pada saat berada di organisasi masing-masing (organisasi mahasiswa) mereka dididik dengan benar.
Artikel Terkait
Stafsus Kepresidenan RI, Billy Mambrasar Apresiasi Satgas Siber Ops Damai Carten 2022 Berdayakan Pemuda Papua
Mempererat Tali Silaturahmi, Kapolresta Surakarta yang Baru Kunjungi Tokoh Agama di Ponpes Azzayadiy
Zulhas: Muktamar Muhammadiyah Menghasilkan Pimpinan Pusat yang Ulil Albab
Warga Sleman dan Jombang Peroleh Door Prize Muktamar Berupa Rumah dan Sepeda Motor
Deni Caknan Sempat Ngonten, Juliyatmono sebut Konser Musik HUT Karanganyar Jadi Wisata Luar Biasa